by

Spiritualitas, Tauhid & Adat ; Pertemuan Islam & Matrilineal di Tengah Krisis Modern

 :
banner 468x60

Oleh ; Dt. Tan Malaka VII | PkdpNews.Com ArtaSariMediaGroup

#BAGIAN 4

banner 336x280

DI MINANGKABAU, tidak ada pepatah adat yang lebih sering dikutip daripada:

“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”

 :

Slogan ini tampak sederhana. Tetapi ia adalah fondasi yang menjelaskan mengapa sistem matrilineal bertahan selama ratusan tahun. Ia melindungi adat dari pembusukan internal dan dari tekanan luar. Namun pada abad ke-21, prinsip ini kembali diuji—bukan oleh kolonialisme, bukan oleh modernisasi semata, tetapi oleh perubahan nilai-nilai spiritual dan sosial dalam komunitas Minangkabau sendiri.

 :

Islam sebagai Kekuatan Penyatu, Bukan Penghapus Tradisi

 :

Ketika Islam tiba di pesisir Sumatra pada abad ke-14, ia tidak datang sebagai kekuatan yang menghapus adat. Ia datang sebagai kekuatan yang menyucikan. Para ulama awal Minangkabau menyadari bahwa sistem adat—termasuk garis keturunan matrilineal—terlalu dalam tertanam untuk dihapuskan. Lebih bijak untuk menyelaraskannya.

Itu sebabnya, sebagian besar peran publik tetap dipegang laki-laki. Ini bukan kompromi terhadap patriarki Arab, melainkan penyesuaian logis terhadap kebutuhan nagari. Sementara itu, perempuan tetap menjaga garis keturunan, tanah ulayat, dan rumah gadang—peran yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.

Namun pada masa kini, hubungan antara adat dan syarak menjadi lebih rumit. Ada generasi muda yang memandang adat sebagai beban historis. Ada pula yang memandang syarak dengan kecurigaan karena dianggap sering dipakai untuk mempertahankan struktur kuasa adat. Ketegangan antara adat dan syarak kini tidak datang dari pertentangan substansi, tetapi dari persaingan otoritas dalam ruang publik baru.

Ulama Modern dan Ninik Mamak: Dua Otoritas, Satu Ruang yang Mengecil

See also  Features | 'Lo-Gue' di Tanah Arema, Identitas Siapa yang Dipakai?

Jika pada abad ke-19 ulama Minang seperti Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol memperjuangkan “pemurnian adat” melalui syarak, kini ulama modern menghadapi tantangan berbeda: mereka bersaing dengan otoritas adat dalam satu ruang sosial yang menyempit—nagari yang kini terhubung ke dunia global.

Ninik mamak mengatakan adat tidak lapuk. Ulama mengatakan syarak tidak berubah. Namun dalam praktiknya, keduanya bernegosiasi setiap hari:

* dalam pernikahan
* dalam pembagian waris
* dalam perselisihan rumah tangga
* dalam pengelolaan tanah ulayat
* dalam tata cara musyawarah nagari

Konflik-konflik kecil ini jarang terlihat dalam media nasional, tetapi sangat terasa di lapangan.

Di salah satu nagari di Solok, misalnya, seorang penghulu tua mengeluh bahwa generasi muda lebih mendengarkan ustaz YouTube daripada mamak suku.
Sementara seorang ulama muda merasa posisinya diabaikan ketika ia mencoba menyampaikan pendapat tentang praktik adat tertentu.

Perselisihan ini bukan perebutan kekuasaan. Ia adalah perebutan relevansi.

Tauhid sebagai Penopang Filosofis Matrilineal

Seorang profesor antropologi Minang pernah menulis:

> “Minangkabau adalah satu-satunya masyarakat matrilineal di dunia yang menerapkan monoteisme secara penuh dan konsisten.”

Pernyataan itu tidak berlebihan. Dalam banyak masyarakat matrilineal lain—seperti di Afrika Barat, Melanesia, atau Amerika Tengah—sistem garis keturunan perempuan biasanya berkaitan dengan sistem kepercayaan yang menempatkan dewi ibu sebagai pusat spiritual. Namun Minangkabau justru memeluk tauhid secara ketat.

Di sini terletak keunikan mendalam: matrilineal Minang tidak pernah menjadi matriarkal. Perempuan memegang garis keturunan, bukan otoritas spiritual atau politik. Ini bukan karena Islam memaksanya, tetapi karena struktur sosial Minang sejak awal memang tidak menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perebutan kekuasaan.

See also  Sejarah Panjang Kota Jambi

Dalam tambo-tambo lama, ada pepatah:

“Nan batakok di bumi, nan batanyo ka langik.”
(*Yang menegakkan di bumi laki-laki, yang menjaga di bumi perempuan; namun semuanya bertanya pada langit.*)

Ini bukan metafora kosong. Ia menjelaskan bahwa seluruh struktur adat Minang selalu ditimbang melalui prinsip tauhid: satu Tuhan, satu sumber kebenaran, satu legitimasi moral.

Ketika Pemurnian Dipertanyakan: Generasi Baru dan Reinterpretasi Adat-Syarak

Generasi muda Minang kini membaca adat tidak lagi dari tambo, tetapi dari buku-buku antropologi, forum daring, dan diskursus global tentang gender. Mereka bertanya:

* Apakah matrilineal benar-benar sejalan dengan syariat?
* Apakah peran mamak masih relevan?
* Apakah perempuan Minang benar-benar dihormati atau hanya diberi simbol kosong?
* Apakah rumah gadang masih punya fungsi dalam keluarga modern?
* Apakah sistem waris adat adil dalam konteks ekonomi baru?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan ancaman terhadap adat. Mereka adalah tanda bahwa sistem sedang hidup, sedang dikaji ulang, sedang ditafsirkan kembali.

Dalam banyak kasus, reinterpretasi itu menghasilkan harmoni baru.
Dalam kasus lain, menghasilkan friksi.

Contoh nyata adalah soal pembagian waris.
Syarak memberi hak individu, adat memberi hak komunal.
Ketika seorang perempuan ingin menjual tanah pusaka untuk membiayai pendidikan anaknya, ia berhadapan dengan prinsip adat. Namun ia juga membawa argumen syarak yang mengutamakan kemaslahatan.

Di sinilah keduanya tidak bertentangan, tetapi justru saling menyokong dalam perdebatan moral.

See also  Mengupas Suku-suku di Provinsi Jambi

*Spiritualitas yang Bergerak: Ketika Islam Beradaptasi dengan Identitas Minang Modern**

Di masjid-masjid Sumatera Barat, khotbah Jumat semakin sering membahas isu-isu yang dulu tidak masuk dalam ruang spiritual:

* urbanisasi dan hilangnya rumah gadang
* peran ayah dan mamak
* beban ekonomi perempuan
* pergeseran nilai merantau
* krisis identitas generasi muda

Islam Minangkabau kini sedang bergerak mengikuti dinamika sosial generasinya. Ia tidak lagi hanya membahas akidah atau fikih klasik, tetapi juga persoalan yang bersumber dari gesekan adat dengan realitas modern.

Dari sini terlihat bahwa agama bukan ancaman bagi adat, justru penyelaras ketika adat menghadapi dunia yang berubah.

Apakah Adat Masih Basandi Syarak?

Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah prinsip “adat basandi syarak” masih bertahan?

Jawabannya kompleks.

Secara filosofis: ya.
Secara praktis: sedang diuji.
Secara sosial: sedang dinegosiasikan ulang.
Secara spiritual: tetap menjadi kompas moral.

Ketika adat berbenturan dengan realitas modern, ia tidak runtuh. Ia kembali kepada syarak untuk mencari legitimasi baru.
Ketika syarak terlalu abstrak untuk menjawab persoalan sosial, ia kembali kepada adat untuk menemukan konteks praktis.

Dari sinilah kekuatan sistem ini berasal: *dialektika terus-menerus antara adat dan syarak*.

Tidak ada yang lebih tinggi; tidak ada yang lebih rendah.
Yang ada hanyalah proses penyesuaian yang tidak pernah selesai.

#Bagian 4 selesai.

#BAGAGIAN 5 (Bagian Terakhir):

“Masa Depan Matrilineal Minangkabau: Antara Kebangkitan, Ketahanan, atau Transisi Baru?”

Oleh ; Dt. Tan Malaka VII | JambiEkspress.Com ArtaSariMediaGroup

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment