by

Features | ‘Lo-Gue’ di Tanah Arema, Identitas Siapa yang Dipakai?

 :
banner 468x60

SUASANA kampus di Kota Malang, Jawa Timur selalu semarak, buka semata tentang aktivitas belajar dan perjuangan hidup mahasiswa perantau. Tetapi, juga logat bicara yang kian beragam setiap hari di tanah kebanggaan Arema tersebut.

Di antara warung kopi, lorong kampus, dan asrama, logat ‘lo-gue’ (kamu-aku/red) kini kian sering terdengar. Gaya khas Jakarta itu bukan hanya milik mahasiswa ibu kota.

banner 336x280

Banyak mahasiswa luar Jabodetabek kini ikut-ikutan. Mereka tinggalkan logat asal demi gaya pergaulan yang lebih dianggap keren dan kekinian.

Vandy, mahasiswa Antropologi di Universitas Brawijaya, justru punya cerita berbeda. Ia datang dari Jakarta, tapi tidak ikut tren.

 :

Vandy memilih belajar bahasa Jawa dari teman-teman sekelasnya. Alasannya sederhana, yakni menghormati tuan rumah.

 :

“Saya dan beberapa teman dari Jakarta justru belajar bahasa Jawa untuk menghormati mahasiswa lokal. Sayangnya, banyak mahasiswa luar Jabodetabek malah ikut gaya lo-gue padahal medok juga,” kata Vandy ditemui beberapa waktu lalu.

Baginya, meninggalkan logat asal demi gaya Jakarta adalah kehilangan. “Mereka seolah malu dengan identitas asalnya,” katanya.

 :

Hal serupa disoroti Ruth, mahasiswi lain asal Jakarta yang mengaku tidak mempermasalahkan logat lo-gue merambah ke mana-mana. Tapi, ia menyayangkan, jika itu hanya demi diterima di pergaulan kampus.

“Aku pribadi nggak masalah. Tapi kalau ikut-ikutan karena FOMO (Fear of Missing Out/takut ketinggalan tren) atau gengsi, sayang aja,” kata Ruth.

See also  Dukungan Total Bupati untuk Shabrina, Dari Lapangan Terbuka hingga ke Studio RCTI

Ruth menekankan, bahwa pergaulan seharusnya dua arah. “Bahkan Jakarta pun perlu beradaptasi dengan budaya lokal termasuk soal penggunaan bahasa,” ucapnya.

Sementara itu, Rafi Azzamy, mahasiswa asli Malang menilai, fenomena ini sebagai bentuk percampuran budaya. Tapi, ia risau dengan persepsi yang melekat pada logat ibu kota.

“Sayangnya, ada yang menilai stereotip mahasiswa Jakarta sebagai anak gaul, banyak uang, dan eksklusif. Ini adalah gambaran sempit yang perlu dilawan,” ujar Rafi.

Fenomena sosial ini tidak terlepas dari pengamatan para dosen. Muhammad Afnani Alifian, dosen sekaligus pemerhati budaya urban salah satunya.

Menurutnya, perubahan ini bagian dari transformasi Malang sebagai kota mahasiswa. “Melihat fenomena ini saya sadar, Malang mungkin sudah mengalami transformasi pergaulan,” ujar Afnani.

“Bukan hanya soal gedung yang makin menjulang, kafe, dan hiburan malam yang menjamur. Tapi juga tentang cara mahasiswa membentuk identitas dan kadang, meninggalkan akarnya demi sebuah gaya.”

Baginya, Malang adalah tempat pertemuan banyak budaya. Tidak hanya dari desa sekitar, tetapi juga dari pusat urban seperti Jabodetabek.

“Saya paham betul bahwa perubahan adalah bagian dari hidup. Tapi ada perasaan getir yang tak bisa saya elakkan saat mendengar logat ‘lo-gue’ lebih sering menggema,” ujarnya.

“Bukan karena saya menolak hal urban itu datang, tapi saya percaya pada pepatah lama. Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.”

See also  Features | Berbalut Bludru di Jalan Kenangan Malioboro

Dosen bahasa di Universitas Brawijaya Titis Bayu Widagdo menambahkan, pandangan lebih tajam. Ia menilai, fenomena ini sebagai gejala dari inferioritas kultural.

Menurutnya, degradasi bahasa lokal seperti bahasa Jawa seharusnya menjadi perhatian para pemangku kebijakan. “Bukan sekadar wacana dalam kongres formal,” katanya.

Asal Usul Lo-Gue

Dirangkum dari berbagai sumber, kata “lo” dan “gue” yang populer di bahasa gaul Jakarta diduga berasal dari dialek Hokkien. Ini merujuk pada pengaruh bahasa Tionghoa yang masuk ke Indonesia lewat para migran.

Dalam dialek Hokkien, “lu” berarti “kamu” dan “gua” berarti “saya” atau “aku”. Fonetiknya mirip dengan “lo” dan “gue” yang biasa dipakai sehari-hari oleh anak muda Jakarta.

Ahli bahasa dari Universitas Indonesia, Dr. Siti Aminah menjelaskan, bahwa bahasa Betawi dan gaul Jakarta merupakan hasil akulturasi berbagai bahasa. Termasuk pengaruh Melayu, Tionghoa, dan bahasa daerah.

“Pengaruh dialek Hokkien memang sangat kuat, terutama di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Namun, penggunaan ‘lo-gue’ juga mengalami perubahan makna dan fungsi sejak awal kemunculannya,” katanya dalam portal resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud RI dikutip, Minggu (25/5/2025).

Menurut Aminah, pengaruh budaya Tionghoa telah lama membaur dengan budaya lokal. Bahasa gaul Jakarta pun terbentuk dari proses panjang interaksi sosial dan linguistik.

Meski ada teori pengaruh Hokkien, sumber kata “lo” dan “gue” tetap menjadi perdebatan di kalangan linguistik. Banyak juga yang menganggap kata ini berkembang dari bahasa Melayu dan Betawi asli.

See also  Ke SemiFinal, Ganda Campuran Indonesia Jafar/Felisha Permalukan Goh/Lai

“Kita harus melihat fenomena ini sebagai hasil akulturasi budaya yang dinamis dan terus berubah. Bahasa adalah cermin masyarakat yang hidup dan berkembang,” ucapnya.

Sumber resmi dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mencatat bahwa bahasa gaul Jakarta merupakan perpaduan berbagai dialek dan bahasa. Termasuk bahasa Betawi, Melayu, dan pengaruh asing lain seperti Tionghoa.

Dengan demikian, kata ‘lo-gue’ bukan hanya sekadar pinjaman bahasa asing. Namun, bagian dari proses sosial yang memperkaya bahasa Indonesia masa kini. | JambiEkspress.Com | KBRN | Hanum Oktavia | *** |

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment