JambiEkspress.Com | ArtaSariMediaGroup — Di tengah situasi kemanusiaan yang kian memburuk akibat serangan militer Israel, sekitar 300.000 pelajar Palestina di Gaza akhirnya kembali ke sekolah pada Sabtu (18/10/2025). Kembalinya proses pendidikan ini dilakukan di bawah naungan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), meskipun wilayah tersebut masih terisolasi akibat blokade yang menghalangi masuknya bantuan vital ke Gaza.
Kembali Ke Sekolah Setelah Dua Tahun Tertunda
Pendidikan di Gaza terhenti sejak 8 Oktober 2023, setelah dimulainya serangan Israel yang disebut oleh banyak pihak sebagai genosida terhadap wilayah tersebut. Serangan ini menyebabkan banyak sekolah yang dikelola oleh UNRWA dan pemerintah Palestina hancur, sementara sebagian besar diubah menjadi tempat penampungan bagi keluarga yang mengungsi.
Namun, meskipun kondisi begitu berat, UNRWA bertekad untuk memulai kembali proses pendidikan. Adnan Abu Hasna, penasihat media UNRWA, menyatakan bahwa 300.000 siswa Palestina akan kembali belajar, dan angka ini diperkirakan akan meningkat.

“Kami telah menyusun rencana untuk memulai pendidikan kembali, dengan sekitar 10.000 siswa mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah dan tempat penampungan yang masih berdiri. Sementara itu, sebagian besar siswa lainnya akan mengikuti pembelajaran jarak jauh,” ungkap Abu Hasna melalui platform sosial X.

Keputusan ini diambil untuk menghindari lebih banyak kehilangan tahun pendidikan, mengingat siswa Palestina sudah tertinggal dua tahun pendidikan sebelumnya akibat pandemi COVID-19.
Menyelamatkan Generasi Muda dari Kehilangan Masa Depan

Lebih dari 8.000 guru terlibat dalam upaya pemulihan pendidikan ini. Mereka tidak hanya menghadapi tantangan fisik akibat keterbatasan sarana, tetapi juga tantangan psikologis mengingat trauma yang dialami para pelajar dan keluarga mereka.
Abu Hasna menekankan pentingnya melanjutkan pendidikan di tengah situasi yang semakin genting: “Kami tidak bisa membiarkan generasi muda ini kehilangan lebih banyak waktu. Mereka harus memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka, meskipun dalam kondisi yang sangat terbatas,” ujarnya.
Namun, upaya pendidikan ini tidak terlepas dari tantangan besar lainnya. Data yang dirilis Kementerian Pendidikan Palestina per 16 September 2025 mengungkapkan bahwa 172 sekolah pemerintah hancur, sementara 118 sekolah lainnya rusak parah akibat serangan udara Israel. Lebih dari 100 sekolah UNRWA juga mengalami kerusakan.
Tidak hanya infrastruktur yang hancur, tetapi juga ribuan nyawa telah melayang—lebih dari 17.700 siswa Palestina tewas dalam serangan tersebut, dan 25.897 lainnya terluka. Di sektor pendidikan, 763 pegawai turut menjadi korban, dengan lebih dari 3.000 mengalami luka-luka.
Krisis Kemanusiaan yang Semakin Parah
Sementara itu, Abu Hasna juga menyatakan bahwa UNRWA tengah berupaya untuk memperbaiki sektor kesehatan di Gaza dengan mengaktifkan 22 klinik pusat dan membuka puluhan titik distribusi makanan. Namun, hal ini sangat terhambat oleh kebijakan Israel yang terus membatasi masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
“Sejumlah kebutuhan dasar seperti bahan bangunan, selimut, pakaian musim dingin, dan obat-obatan masih sangat dibatasi oleh Israel. Ini hanya memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah sangat parah,” tegasnya. Menurut laporan UNRWA, hampir 95% dari populasi Gaza kini bergantung pada bantuan kemanusiaan setelah mata pencaharian mereka hancur.
Abu Hasna memperingatkan bahwa situasi ini akan semakin memburuk seiring dengan datangnya musim dingin yang akan segera tiba. “Ratusan ribu pengungsi kini tinggal di tempat terbuka, menunggu bantuan yang mendesak,” tambahnya.
Gencatan Senjata dan Harapan untuk Gaza
Pada 10 Oktober 2025, sebuah kesepakatan gencatan senjata tercapai antara Israel dan Hamas, yang mencakup pembebasan sandera Israel sebagai imbalan atas pembebasan tahanan Palestina. Rencana ini juga mencakup langkah-langkah untuk membangun kembali Gaza, termasuk rencana pembentukan mekanisme pemerintahan baru tanpa kehadiran Hamas.
Namun, meskipun gencatan senjata menawarkan secercah harapan, banyak pihak yang meragukan apakah langkah ini cukup untuk memulihkan Gaza secara menyeluruh. Rekonstruksi fisik memang sangat penting, tetapi pemulihan sosial dan ekonomi jauh lebih kompleks.
Bagi 300.000 pelajar Palestina yang kembali bersekolah, ini adalah simbol keberanian dan ketahanan mereka dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.
Meskipun pendidikan tidak dapat sepenuhnya menghapus luka yang ditinggalkan oleh konflik ini, itu tetap menjadi alat yang penting untuk mempersiapkan generasi muda Gaza menghadapi tantangan hidup di tengah kekacauan yang terus berlangsung.
Kondisi Gaza saat ini mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap anak, bahkan di tengah perang dan penderitaan.
Namun, dunia juga harus berkomitmen untuk mendukung mereka yang berjuang untuk masa depan yang lebih baik, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata yang memungkinkan Gaza kembali bangkit—baik secara fisik, mental, dan sosial. | JambiEkspress.Com | */Redaksi | *** |
oke